CORONA DAN MOMENTUM EMAS BERINVESTASI SAHAM
- BERAWAL DARI STATUS PANDEMI
Tak dapat
dipungkiri, sejak virus Corona atau Covid-19 ditetapkan WHO (World Health Organization)
sebagai suatu pandemi yang artinya virus
tersebut telah menyebar meliputi lintas geografi dan memberikan dampak yang
luas, maka sejak saat itu pula kehidupan masyarakat global berangsur-berangsur mengalami perubahan total
dengan adanya kebijakan yang hampir dilakukan seluruh negara di dunia untuk
melakukan karantina wilayah atau pembatasan secara masif segala aktivitas dan
kegiatan. Di Indonesia sendiri, pasca penerapan kebijakan PSBB (Pembatasan
sosial berskala besar) di berbagai kota
dan provinsi, semua masyarakat wajib
membatasi segala aktivitasnya di luar rumah, mal dan perkantoran harus ditutup
sementara waktu yang otomatis membuat segala aktivitas pekerjaan hanya bisa
dilakukan di rumah. Persis seperti yang aku rasakan sendiri saat ini di wilayah
DKI Jakarta dan seluruh wilayah Jabodetabek pada umumnya.
Ilustrasi virus corona
(Sumber : AJNN.net)
Dampak dari semua hal tersebut
meliputi hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama di sektor
ekonomi. Boleh dibilang, perekonomian
global termasuk di negara kita saat ini sedang dalam kondisi krisis karena
mayoritas sektor industri terpukul hebat dengan adanya pandemi ini. Salah satu
sektor usaha yang terimbas dengan kondisi demikian tentunya adalah UMKM yang sejatinya memiliki kontribusi besar
terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) nasional. Sederhana saja, dengan diterapkannya
berbagai kebijakan terkait pembatasan aktivitas dan kegiatan masyarakat
tersebut,maka pada dasarnya telah banyak
menghentikan roda perekonomian itu sendiri, tapi bukan berarti berhenti total.
- OUTLOOK PEREKONOMIAN MAYORITAS NEGATIF
Berbagai macam
proyeksi dan prediksi telah dilakukan untuk mengukur dampak ekonomi dari
pandemi ini, hasilnya sama, yaitu angka pertumbuhan ekonomi di seluruh negara
di dunia terancam terkontraksi yang bisa memicu terjadinya resesi. Mengutip dari CNN Indonesia ,Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani mengatakan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 2020 hanya akan mencapai 2,3% , bahkan dalam skenario terburuk,
pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa saja minus hingga 0,4%. IMF sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang
tahun 2020 di kisaran 0,5%. Bahkan GDP Global 2020 malah diprediksi akan tumbuh
minus 2,2%. Kesimpulannya adalah outlook perekonomian global pada tahun
ini hampir seluruhnya negatif.
Ketika aku menelusuri data
pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia dari berbagai sumber, dua negara
dengan PDB terbesar di dunia yakni Cina dan Amerika Serikat telah melaporkan
pertumbuhan ekonominya di kuartal pertama 2020 yang terkontraksi masing-masing
sebesar -6.8% dan -4.8%. Kemudian Spanyol -5.2%, Perancis -5.8%,
dan Italia -4.7%, yang semuanya merupakan di antara dereta negara maju di
dunia.
- IMPACT KE IHSG DAN KASUS JIWASRAYA
Akibat
dari dampak pandemi yang telah kugambarkan di atas, suka tidak suka juga harus
berimbas pada performa IHSG (Indeks
Harga Saham Gabungan) yang terkoreksi
cukup dalam secara YTD (Year To Date)
dari awal tahun 2020 sebesar -25,13% (per 30 April 2020). Jika kita lihat IHSG
dari harga tertingginya sepanjang sejarah (All
Time High) yaitu 6.668 yang terjadi pada Februari 2018 silam, maka saat ini
IHSG sudah terkoreksi sebesar 29,27%. Tentu, fenomena ARB (Auto Reject Bawah) yang mewarnai pergerakan IHSG hampir di
setiap hari bursa pada bulan Maret kemaren masih membekas dan seperti menjadi shock therapy di benak para Investor dan
trader di seluruh Indonesia.
Ilustrasi Pergerakan Harga Saham
(Sumber : pasardana.id)
(Sumber : pasardana.id)
Fakta lainnya adalah, sebelum market kita dalam kondisi crash seperti ini, dunia pasar modal
kita sudah lebih dulu diguncang dengan mega kasus gagal bayar asuransi
Jiwasraya. Kasus ini mencuat ke publik pada pertengahan Desember 2019 silam,
saat itu manajemen Jiwasraya tak mampu membayar polis asuransi nasabahnya
dengan perkiraan total kerugian sebesar Rp 12 Triliun. Perusahaan asuransi
milik BUMN ini diduga mempermainkan uang nasabahnya dengan menginvestasikannya
pada saham-saham gorengan yang tentu saja berisiko tinggi pada terjadinya penurunan
nilai investasi itu sendiri. Pada dasarnya, kasus Jiwasraya tidak sesederhana
itu, permasalahannya cukup kompleks, melibatkan beberapa ‘aktor penting’,
mencakup tindakan manipulasi keuangan dan rekayasa akuntansi. Kabar terbarunya,
kasus ini sudah masuk ke ranah tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan hingga
kini proses hukumnya masih terus berjalan.
Ilustrasi Jiwasraya
(Sumber : suarakarya.id)
Ilustrasi Jiwasraya
(Sumber : suarakarya.id)
Sebelumnya juga sempat terjadi
kasus ‘rusuh’ reksadana saham gorengan yang salah satunya melibatkan produk
reksadana besutan Narada Aset Manajemen hingga mengalami penurunan Nilai Aset
Bersih (NAB) yang sangat besar. Kasus tersebut terjadi dalam waktu yang hampir
bersamaan dengan kasus reksadana Minna Padi Aset Manajemen (MPAM) yang
dibubarkan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) karena menawarkan imbal hasil pasti
kepada investornya, hal tersebut sangat jelas melanggar peraturan !. Pada
intinya, sebelum dampak dari pandemi covid-19 terjadi hingga membuat IHSG
rontok seperti saat ini, maka maraknya skandal dalam industri pengelolaan
investasi seperti yang kutulis di atas, sudah lebih dulu membuat pelaku pasar
modal khawatir dan mengurangi rasa kepercayaan atas prospek industri pasar modal nasional dan prospek
IHSG itu sendiri.
- BERPOTENSI
MENJADI KRISIS EKONOMI LEBIH PARAH DIBANDING KRISIS KEUANGAN 2008 ?
Jika kita tilik
lebih dalam lagi, dampak dari pandemi yang memicu krisis pada 2020 ini bisa
jadi lebih parah dibanding krisis keuangan global pada tahun 2008 silam. Karena
krisis yang diakibatkan virus corona ini melanda
hampir seluruh negara di dunia. Sedangkan krisis 2008 pada dasarnya adalah
krisis keuangan yang melanda negara Amerika Serikat saja, namun karena posisi
AS yang sudah menjadi ‘kiblat’ perekonomian dunia sejak saat itu , maka segala
yang terjadi di sana akan turut memengaruhi ‘psikologi’ negara lainnya.
Puncaknya adalah ketika Lehman
Brothers dinyatakan bangkrut, indeks
Dow Jones turun cukup tajam sepanjang
tahun 2008 yang membuat bursa lainnya
juga ikut turun, termasuk IHSG yang saat itu terkoreksi lebih dari 60% dari
awal tahun.
Barangkali, boleh dibilang jika
kondisi buruk pasar saham di Indonesia sekarang memang merupakan gambaran dari akumulasi krisis kepercayaan
investor pasca kasus Jiwasraya dan kasus lainnya terungkap, ditambah
kekhawatiran akan dampak besar dari pandemi corona itu sendiri, tentunya selain
faktor eksternal yang terjadi di luar sana, ‘drama’ trade war berkepanjangan antara Amerika Serikat dan Cina misalnya.
Oh ya, jangan lupakan fenomena penurunan harga minyak mentah berjangka di AS
yang sempat DIHARGAI NEGATIF hingga menyentuh level harga -40,32/barel untuk
kontrak WTI (West Texas Intermediate)
bulan Mei 2020, ini merupakan fenomena terburuk dalam sejarah harga minyak
mentah.
- BELAJAR
DARI WARREN BUFFET
Lalu, apakah
krisis ini sudah menjadi momentum yang baik bagi kita para investor saham untuk
melakukan pembelian saham besar-besaran ?. Dalam teori sederhana, jawabannya
adalah “YA”. Seperti nasehat Warren Buffet yang cukup familiar di kalangan para
investor saham, “Fearful when others are
gready and to bee greedy only when others are fearful”. Namun pada
prakteknya, hal tersebut cukup sulit diterapkan. Kita sebagai manusia biasa
tentu mempunyai keterbatasan untuk memprediksi kapan puncak dari krisis pandemi
ini akan terjadi dan membeli saham persis pada titik terendahnya atau pada saat
IHSG itu sendiri mencapai bottomnya. Kita juga tentu tidak bisa menolak fakta
bahwa harga saham emiten di BEI (Bursa Efek Indonesia) saat ini cukup
menawarkan kesempatan yang baik bagi kita untuk melakukan pembelian saham,
terutama pada perusahaan yang secara historis memang memiliki fundamental yang
bagus dan telah teruji dalam perjalanan waktu.
Warren Buffet
(Sumber : medium.com)
(Sumber : medium.com)
Namun, jangan lupakan fakta lain bahwa Warren Buffet sejak tahun 2019 lalu
sudah mengumpulkan uang tunai melalui Berkshire
Hathaway-nya secara masif. Setidaknya hingga catatan ini aku buat, Warren
Buffet sudah memiliki kas sebesar US$ 137 miliar atau setara RP 2.124 Triliun,
angka yang sangat fantastis. Tentu hal ini menjadi pertanyaan bagi kita para
investor awam mengapa dia tidak melakukan hal sebaliknya dengan menggelontorkan
uang tersebut untuk belanja saham besar-besaran atau melakukan akuisisi
perusahaan di saat krisis seperti ini seperti yang biasa ia lakukan pada
masa-masa krisis sebelumnya. Dalam hal ini, tindakan Warren Buffet tersebut
mungkin sekaligus memberikan pelajaran pada kita bahwa keputusan investasi seiring berjalannya waktu akan bisa berubah dengan
cepat tergantung pada perkembangan dan dinamika di pasar saham itu sendiri.
Dengan tindakan Warren Buffet
memupuk uang kas sejak tahun 2019 tersebut kemudian memunculkan pertanyaan
lain, apakah mungkin dia sudah memprediksi
akan terjadi hal ‘luar biasa’ pada tahun 2020 yang akan memicu
terjadinya krisis global ?. Dan apakah hal ‘luar biasa’ tersebut sedang terjadi
dalam bentuk pandemi ini dan memicu
terjadi hal ‘luar biasa’ lainnya ?.
Tidak ada jawaban pasti.
- SO, IS THIS TIME FOR STOCK ‘SHOPPING’ NOW ?
Hal yang
terpenting dari semua ini adalah bagaimana kita bisa ‘mengawal’ dan menjaga
momentum untuk belanja saham dalam kondisi krisis ini dengan tetap
memperhatikan fundamental perusahaan itu sendiri, walau kita tidak bisa menafikan
fakta lain bahwa mayoritas kinerja emiten di BEI dipastikan akan terpukul,
terutama semenjak kebijakan PSBB pertama kali diterapkan di Jakarta pada
pertengahan Maret kemaren yang kemudian diikuti daerah lain di Indonesia.
Laporan Keuangan emiten kuartal dua dan kuartal berikutnya dalam tahun 2020
nanti akan menjadi data yang lebih akurat bagi kita untuk melihat dampak dari
kebijakan PSBB dan Pandemi Corona itu sendiri bagi kinerja perusahaan.(Ingat,
PSBB baru dimulai pertengahan Maret).
And then, dengan mempertimbangkan segala kondisi dan fakta yang
telah aku tulis di atas, apakah ini sudah menjadi momentum emas bagi kita untuk
berburu saham perusahaan-perusahaan bagus di BEI ?. Pada dasarnya, jawabannya
ada pada diri kita sendiri karena segala keputusan investasi tentunya sangat
tergantung dari profil risiko, analisis, dan pengalaman investasi
masing-masing. Tapi aku di sini mungkin bisa memberikan sedikit gambaran dan
kenyataan yang sedang terjadi di pasar saham kita dengan bekal pengetahuan,
pengalaman, dan hasil pembelajaran yang kudapat dalam berinvestasi saham selama
ini.
(Sumber : finansialku.com)
Poin pertama, kita harus melihat
fakta dan belajar dari sejarah krisis-krisis sebelumnya yang pernah terjadi
pada tahun 1929 (great depression), 1998, dan 2008 bahwa krisis tersebut tidak
akan langsung pulih atau recovery dalam
waktu yang relatif singkat. Bukan dalam angka harian, tapi membutuhkan waktu
bulanan dan bahkan tahunan agar membuat kehidupan masyarakat pasca krisis
benar-benar kembali normal. Terlebih jika krisis tersebut disebabkan wabah
virus seperti saat ini. Maka atas dasar hal tersebut kita tidak seharusnya gegabah atau terburu-terburu dalam melakukan pembelian saham yang memang
ditujukan untuk dihold dalam jangka panjang karena takut ‘ketinggalan kereta’.
Lain halnya jika sejak awal kita menerapkan metode DCA (Dolar Cost Averaging) atau membeli saham secara rutin dalam
waktu tertentu, misalnya beli tiap bulan, tak peduli berapa harga saham saat
itu dan kondisi yang sedang memengaruhi IHSG itu sendiri.
Poin kedua, sejak dahulu dalam
kondisi krisis seperti apapun, pasar saham dapat memberikan kita kesempatan
untuk menemukan saham-saham perusahaan berfundamental bagus di BEI yang sedang
dalam posisi undervalue, artinya value atau harga wajar saham emiten
tersebut dihargai lebih tinggi dibandingkan harga saham di pasar yang biasa
kita lihat di layar aplikasi OLT (online
trading) kita masing-masing. Semakin turunnya harga saham di pasar dan value dari saham tersebut bernilai tetap,
maka semakin besar pula margin keamanan (Margin
Of Safety) yang didapat sehingga memberikan proteksi dan kenyamanan bagi
kita dalam memutuskan pembelian saham tersebut. Mungkin ini menjadi salah satu
alasan Warren Buffet ‘menunda’ pembelian saham secara besar-besaran seperti
yang sudah kujelaskan di atas karena ia merasa belum mendapatkan margin
keamanan yang cocok untuk mengkompensasi risiko investasinya di tengah krisis
saat ini.
Poin ketiga sekaligus poin
terakhir, mengurangi intensitas kegiatan melihat pergerakan harga saham di
pasar dan tetap fokus pada menganalisis fundamental emiten-emiten yang kita
jadikan watchlist dengan melihat
kinerja dan kondisi terbaru perusahaan melalui laporan keuangannya.
Bagaimanapun juga, terlalu sering membuka aplikasi OLT dan melihat harga saham
harian sedikit banyaknya memengaruhi psikologi kita dan mengganggu kita agar
tetap berpikir logis. Jangan sampai kondisi demikian malah memperburuk
pikiran kita di situasi pasar saham yang
tengah krisis. Hal ini juga berkaitan dengan mindset agar kita tetap berpikir
optimis bahwa masa-masa sulit ini pasti akan berakhir.
Semoga tulisan
ini bisa memberi pandangan tambahan bagi kita semua, termasuk diriku sendiri
dalam setiap pengambilan keputusan investasi yang kita lakukan. Harapannya
tentu kita bisa memanfaatkan krisis ini sebagai momentum emas untuk menemukan
saham-saham yang dalam jangka panjang akan memberikan imbal hasil yang
memuaskan dalam perjalanan investasi kita. Terakhir, jangan lupa selalu menjaga kesehatan
dan mematuhi peraturan pemerintah terkait PSBB untuk memutus mata rantai
penyebaran Covid-19 di Indonesia. Semoga Tuhan YME selalu melindungi kita…
Finally, are you ready to hunt for good companies right now ?
Jakarta, 4 Mei 2020 *09:30 PM
Sumber Referensi data :
Komentar
Posting Komentar